19 June 2008

Pure Water for Society

Kampung Nunukan di Cililin kaya akan air, karena kampung ini terletak persis di samping waduk Saguling. Namun mereka sangat membutuhkan air bersih. Lho kok? Ya, karena air waduk saguling memang tidak layak untuk digunakan sebagai air untuk kebutuhan sehari-hari. Ketika aku mengunjungi kampung Nunukan saat itu, aku melihat air waduk keruh berwarna hijau karena lumut yang tumbuh di sana. Lumut itu tersuspensi dalam air sehingga sulit untuk dipisahkan. Saat ini, persis di samping Madrasah di kampung itu terdapat sebuah unit penghasil air bersih. Unit ini tampak jelas dari kejauhan karena tiga buah tangkinya yang berwarna oranye. Unit yang terdiri dari sebuah unit membran, pompa, bak air dan menara air ini berkapasitas 1 m3 air bersih per jam. Air bersih di sini berarti air yang telah layak untuk digunakan untuk memasak.
Setahun yang lalu, daerah ini menjadi sasaran aktivitas Pengabdian Masyarakat Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia ITB (HIMATEK) untuk kesekian kalinya. Keinginan untuk memberikan sesautu yang berarti bagi masyarakat Kampung Nunukan Cililin mendorong anak-anak HIMATEK mengumpulkan daya dan upaya secara mandiri. Beruntung Teknik Kimia ITB memiliki Dr. Ir. I Gede Wenten, seorang pakar membran tingkat dunia, yang menyumbangkan sebuah unit pemurnian air secara gratis. Sehingga dana yang terkumpul dari sana-sini, yang antara lain berasal dari Program Studi Teknik Kimia ITB, Sampoerna Foundation, dan berbagai pihak lainnya bisa digunakan untuk membangun infra struktur.
Jadi, ditariklah pipa air sepanjang 200 meter dari tengah danau dengan menggunakan pompa air berbahan bakar diesel. Air harus ditarik dari tengah danau karena hanya di daerah inilah air masih tersisa pada musim kemarau. Air danau yang masih keruh ini ditampung dalam sebuah bak penampungan air. Air ini kemudian diolah, dan disimpan dalam tangki air berkapasitas 3 m3.
Setahun lewat, kini ketika anak-anak meminta aku untuk datang melihat unit ini dan sekaligus meresmikan penggunaannya, serta merta aku menyanggupinya. Tanggal 14 Juni 2008, pimpinan proyek ini, Arizal, dan teman-temannya menjemputku. Kami berangkat dari Bandung sekitar jam 9:30 WIB. Kami membutuhkan waktu kira-kira 1 jam untuk sampai di Nunukan - Cililin. Setibanya di sana, aku diantar oleh Dani untuk melihat sistem yang telah dibangun oleh anak-anak HIMATEK. Bersama pak RW kami berperahu ke tengah danau, melihat instalasi pompa di sana. Berperahu dengan sampan kecil merupakan pengalaman tersendiri karena ternyata tidak senyaman yang aku bayangkan. Pompa yang digunakan untuk mengalirkan air dari tengah danau ke bak penampung air di kampung Nunukan diletakkan pada barak tambak ikan terapung di tengah danau. Ketika aku naik ke tambak, dudukan ternyata juga tidak stabil, karena ditopang oleh rakit yang terbuat dari drum kosong. Anyway, dari sistem yang telah dibangun, aku dapat membayangkan bahwa kerja yang telah dilakukan adalah sebuah kerja besar.
Akhirnya, melalui seremoni sederhana bersama masyarakat kampung dan perwakilan Sampoerna Foundation, unit pembersih air itu aku resmikan. Peresmian ditandai dengan pengoperasian pompa membran. Luar biasa, air dialirkan melalui membran, di tampung di tangki penampung di menara air, dan air bersih keluar begitu saja. Aku dapat merasakan kesan bangga di dada anak-anak HIMATEK ketika melihat air bersih itu mengalir.
Dan saat ini, melalui tulisan ini aku ingin membagi apa yang aku rasakan. Melihat apa yang telah mereka lakukan, aku merasa sangat bangga dan optimis bahwa anak-anak ini akan menjadi orang yang peduli akan lingkungannya. Anak-anak HIMATEK ITB lebih memilih untuk terjun langsung, bahu membahu menciptakan sebuah peluang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat kampung Nunukan. Tidak banyak lho himpunan mahasiswa Indonesia yang dapat berbuat seperti ini. Ketika perguruan tinggi lain masih berkutat dengan masalah kekerasan dalam proses pengkaderan mahasiswanya, mahasiswa Teknik Kimia ITB ini sudah bisa bertepuk dada: "Kami beda, lho!".
Ya, proficiat HIMATEK!
Just FYI, saat ini mahasiswa HIMATEK ITB tengah sibuk memberikan pelatihan pembuatan kompos dan penanaman padi dengan metoda SRI kepada masyarakat Ciparay.

30 May 2008

HIMATEK for Cikapundung

HIMATEK for Cikapundung adalah sebuah kerja. Kerja kecil yang bernilai sangat besar. Berawal dari seorang Rudi, sekarang alumni Program Studi Teknik Kimia ITB, yang dulu bermimpi untuk menyediakan air bersih bagi masyarakat sekitar sungai Cikapundung. Dipilihlah kampung Manteos, daerah di sekitar daerah Sangkuriang Dago, yang letakknya persis di pinggir singai Cikapundung, sebagai wahana kerjanya. Indahnya, kerja ini didukung penuh oleh adik-adiknya yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia (HIMATEK) ITB. Dan, kerja itu berbuah nyata. Mereka masuk ke kampung yang memiliki tatanan sosial masyarakat sangat sederhana. Sebagian besar penduduk kampung Manteos berprofesi sebagai buruh. Kebutuhan air sebagian besar masyarakat kampung ini dipenuhi oleh sungai Cikapundung yang kualitasnya telah sangat menyedihkan. Air yang berwarna coklat itu digunakan oleh masyarakat untuk mandi dan mencuci. Untuk kebutuhan minumnya, masyarakat mengandalkan mata air jernih yang telah sangat kecil, yang keluar dari bagian bawah bak penampung air jernih.

Dimulai tahun lalu, dan kemudian tertunda karena beberapa hal, lantas dilanjutkan kembali pada tanggal 4 Mei 2008 yang lalu, HIMATEK mengerahkan anggotanya untuk terjun langsung merealisasikan mimpi-mimpi mereka. Unit membran untuk Cikapundung ini disiapkan dengan bantuan pakar membran dunia yang juga staf pengajar Program Studi Teknik Kimia ITB, Dr. I Gede Wenten. Kualitas air yang dihasilkan telah memenuhi baku mutu air yang disyaratkan. Jadi dengan unit ini, masyarakat memiliki kesempatan untuk memperoleh pasokan air bersih dengan jumlah tak terbatas.

Kerja dimulai, mahasiswa yang tergabung dalam HIMATEK bersama-sama dengan masyarakat membangun unit ini. Sebuah bak besar berukuran kira-kira 10 m3 yang terletak di pinggir singai Cikapundung direnovasi. Unit membran dipasang. Sementara itu, kelompok mahasiswa yang lain memberikan penyuluhan pada masyarakat setempat dan anak-anak tentang pentingnya memilah sampah organik dan anorganik. Mereka memberikan pelatihan tentang pembuatan kompos dengan metoda pengomposan Takakura. Anak-anak diajak bermain malakukan kegiatan berburu sampah. Fun!. Mereka diajak untuk peduli terhadap lingkungan sejak umur dini. Para ibu rumah tanggapun tidak ketinggalan. Mahasiswa memberikan penyuluhan kepada mereka tentang pengelolaan sampah rumah tangga yang memang seharusnya mendapatkan perhatian. Kegiatan pengabdian masyarakat ini berlanjut hingga tanggal 11 Mei 2008, ketika unit penyedia air bersih yang berkapasitas 1 m3 per jam ini selesai dibangun dan siap untuk digunakan.

Pada tanggal 25 Mei 2008, aku diminta untuk meresmikan penggunaan unit ini. Dengan senang hati dan bangga aku menyanggupinya. Jalan menuju kampung Manteos merupakan pengalaman tersendiri, karena kampung ini terletak jauh di bawah lembah Sangkuriang, tepat di pinggi sungai Cikapundung. Aku seakan tidak percaya ketika aku melihat kualitas air sungai yang sudah sangat tidak layak untuk digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Coklat keruh dan berbau. Namun anak-anak Manteos masih sempat mendemontrasikan keahlian mereka berenang di sungai terpolusi ini. Terus terang, aku tidak tega melihatnya. Diawali dengan seremoni kecil, akhirnya unit penghasil air bersih ini diresmikan. Bambang, Ketua HIMATEK, dan Edo, Pimpinan Proyek ini, sempat mengatakan bahwa kerja ini kerja kecil, yang merupakan sumbangan mahasiswa Teknik Kimia ITB yang merasa memiliki tanggung jawab moral untuk mengembangkan taraf sosial masyarakat Bandung, terutama masyarakat sekitar ITB. Bagiku kerja ini kerja besar, karena melalui kegiatan ini mahasiswa dapat menemukan jati dirinya sebagai peletak idealisme yang selama ini selalu menjadi motor penggerak kegiatan-kegiatan seperti ini. Pada sambutanku, aku mengatakan bahwa Program Studi Teknik Kimia sangat bangga memiliki mereka sebagai bagian dari civitas akademika Teknik Kimia ITB.
Bersama Pak RW 15 dan pak RT 04, kami menggunting pita. Rasa bangga para mahasiswa yang tergabung dalam HIMATEK aku rasakan sangat kental melihat hasil kerja mereka terpampang di depan mata mereka dan dapat dinikmati oleh masyarakat yang membutuhkannya. Aku sebagai Ketua Program Studi Teknik Kimia ITB memiliki pula rasa itu. Kerja besar ini terasa terbayar ketika melihat senyum dan roman muka bahagia pada masyarakat setempat. Betapa tidak, proyek yang telah diinisiasi sejak setahun yang lalu kini tuntas. Belum! Karena mahasiswa masih memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga keberlangsungan operasi unit ini. Edo melaporkan kepadaku bahwa mereka masih harus terus melakukan monitoring berkala kegiatan pengoperasian unit ini. Mahasiswa dan masyarakat juga masih terus berdiskusi tentang bagaimana memelihara unit ini. Mahasiswa masih terus berusahan untuk mencari sponsor yang dapat memberikan sumbangan dana pemeliharaan unit ini. Karbon aktif yang harus diganti setiap bulan serta membran yang harus diganti setiap 2-3 tahun memerlukan biaya yang tidak sedikit bagi masyarakat kampung Manteos.

Kini masyarakat kampung Manteos di daerah Sangkuriang telah memiliki unit penghasil air bersih. Masyarakat kampung yang terletak di pinggi sungai Cikapundung tentu merasakan langsung manfaat ketersediaan air bersih di kampungnya. Kerja belum selesai. Mahasiswa masih memiliki mimpi-mimpi yang lain. Proyek yang sama, yang dilakukan di Cililin setahun yang lalu sudah menunggu untuk dikembangkan. Proyek penyuluhan SRI (system of rice intensification) yang akan dilakukan di Ciparay juga segera akan digelindingkan. Siapa bilang mahasiswa ITB memble?

28 May 2008

Bakar-bakaran di Malam Hari

Kalau sedang apes, ya sial terus. Kemarin kena asap, hari ini kena lagi. Kali ini aksi pembakaran sampah malah terjadi secara berjamaah. Kejadian ini terjadi tepat di depan pintu gerbang ITB, di bawah pohon di persimpangan Ganesha-Skanda. Asap tebal berasal dari paling sedikit 3 tumpuk sampah yang terbakar. Asap yang terbentuk demikian tebalnya, sehingga tampak seperti kabut dan menyesakkan nafas. Duh Gusti!.

26 May 2008

Taman Ganesha Berasap

Pagi ini, Taman Ganesha berasap. Karena angin yang berubah-ubah, asap disebarkan ke mana-mana, hingga aroma asap yang menyengat ini tercium hingga Jalan Gelap Nyawang, Jalan Ganesha, hingga pintu Gerbang ITB. Aku penasaran, dan berkeliling mencari sumber asap ini. Ketemu! Seonggok sampah yang terdiri dari daun-daunan kering dibakar di sana. Sebenarnya tidak terlalu besar, tetapi karena terbawa angin yang arah berubah-ubah, asap yang dihasilkannya tersebar ke seluruh daerah ini. Terlepas dari aksi bakar-bakaran ini, yang paling penting untuk disimak adalah adalah, siapa yang bertanggung jawab untuk memberikan pembelajaran kepada petugas kebersihan di sana bahwa sebaiknya sampah organik yang terdiri daun-daunan kering ini komposkan saja? Taman Ganesha memiliki luas lahan yang cukup besar, dan alangkah baiknya jika di sebuah sudut taman dibuat sebuah unit komposter untuk menampung sampah organik yang dihasilkan oleh pepohonan di sana. Hanya sebuah usul kecil, yang mungkin tidak pernah terdengar oleh Pemerintah Kota Bandung.

Insan Berbudaya vs Sampah

"Insan Berbudaya Harus Peduli Kebersihan" begitu seruan pada papan putih yang terpancang di pojokan Jalan Skanda dan Jalan Gelap Nyawang, persis di sebelah seonggok sampah yang dibuang oleh, entah orang buta huruf, atau orang yang ingin mengumumkan pada dunia bahwa ia bukanlah Insan Berbudaya yang dimaksud oleh tulisan pada papan pengumuman itu.
Oh, tidak, ini bukanlah satu-satunya ironi yang terjadi pada masyarakat kita. Telah sering kali ironi ini terjadi dan muncul di mana-mana. Namun kecaman pedas dan teguran keras tampaknya tidak cukup untuk menghentikan kejadian serupa. Mengapa demikian?
Mentor saya pernah bilang bahwa ini adalah masalah pola hidup. Untuk mengubah pola hidup yang seakan-akan tidak mempedulikan masalah sekitarnya ini memerlukan pembelajaran yang intensif, mulai dari penanaman nilai-nilai luhur dalam keluarga, hingga proses formal yang pada dasarnya mengubah pola pikir kita. Sepanjang pola pikir kita tidak diubah, pola hidup tidak akan pernah berubah. Sepanjang pola pikir bahwa membuang sampah seenaknya ini adalah perbuatan yang sangat tidak bertanggung jawab, dan sepanjang setiap orang berpendapat bahwa masalah sampah adalah masalah pemerintah kota, Bandung tidak akan pernah bebas dari masalah sampah.

24 May 2008

Bersih ITB


Lapangan rumput Aula Barat ITB.

Sebuah pemandangan yang menyegarkan, petugas kebersihan dengan tekun sedang menyapu halaman yang tampak asri, hijau dan segar. Pemandangan seperti ini selalu aku dapatkan setiap pagi ketika aku tiba di kampus. Tetapi tidak lama lagi nuansa hijau ini akan hilang dengan tibanya musim panas dalam beberapa minggu ke depan. Hijaunya rumput akan berganti dengan rumput kering kecoklatan.

Pasokan Air di Jawa Barat HANYA 10%!

Kerusakan infrastruktur alam yang tinggi di wilayah perbukitan Jawa Barat menyebabkan ketersediaan air hanya mencapai 8 miliar m3/tahun (10%) dari potensi sebanyak 80 miliar m3/tahun. Padahal, kebutuhan air untuk kehidupan sekitar 37 juta jiwa mencapai 17 miliar m3/tahun. Baca selengkapnya di Pikiran Rakyat.

23 May 2008

HIMATEK ITB Mereklamasi Air Bersih di Cikapundung

Melanjutkan kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan oleh HIMATEK (Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia) ITB, sebuah unit penyedia air bersih telah dibangun di Kampung Menteos, Sangkuriang, di sekitar sungai Cikapundung. Selama ini, masyarakat di sekitar sungai Cikapundung, terutama masyarakat miskin, mengandalkan air sungai Cikapundung untuk kegiatan sehari-harinya. Mereka melakukan kegiatan MCK dengan menggunakan air sungai ini yang kondisinya sangat tidak layak. Berangkat dari hal itu, mahasiswa yang tergabung dalam HIMATEK ingin membuat sebuah kerja nyata dalam membantu masyarakat untuk meningkatkan taraf keamanan sosialnya, dengan menyediakan unit penyedia air bersih. Unit ini adalah unit pemisah dengan menggunakan teknologi membran. Unit yang sama telah pula dibangun oleh mahasiswa di Desa Cililin setahun yang lalu.
Pada tanggal 18 Mei 2008 yang lalu, unit ini telah selesai dibangun dan telah siap untuk dioperasikan. Pada hari Minggu besok, 25 Mei 2008, aku diundang dan diminta untuk meresmikan penggunaannya di Kampung Menteos, RT 05, RW 13. Tentu, dengan senang hati dan bangga, aku bersedia melakukannya. Aku akan mendapatkan cerita yang luar biasa. Tidak sabar.

20 May 2008

Dr. Mubiar Purwasasmita

Membakar sampah? Primitif!
MP - Teknik Kimia ITB

Bakar-bakaran di Hutan Pinus Cikole

Jalan pintas, itu adalah pilihan obyektif bagi sebagian besar orang Indonesia ketika menghadapi masalah. Entah, sekecil apapun masalah itu, pertanyaan pertama yang muncul adalah, "Adakah jalan pintas?". Begitu juga ketika kita dihadapkan pada bagaimana mengelola sampah yang ada. Tidak terkecuali jika sampah itu adalah sampah organik yang ada di Hutan Pinus Cikole, yang seharusnya dapat dibiarkan saja dan membusuk secara alami.
Jelang musim panas ini mendadak memberikan kesempatan pada masyarakat untuk mulai main bakar-bakaran. Kejadian di Cikole ini adalah hanya salah satu dari fenomena bakar-bakaran yang mendadak marak akhir-akhir ini. Look, di sepanjang jalan dari Bandung ke Lembang, beberapa tempat telah tertutupi asap yang berasal dari kegiatan bakar sampah seperti ini.
Bukan saja karena asap yang dihasilkan akan menyebabkan berbagai masalah, misalnya memburuknya kualitas udara, atau dapat menyebabkan ISPA, tetapi juga menghilangkan kesempatan tanah di sekitarnya mendapatkan pasokan nutrisi. Membakar biomassa seperti ini secara langsung mengurangi kesuburan tanah karena nutrisi yang seharusnya dapat dikembalikan ke dalam tanah, terbakar dan menjadi arang.
Akan jauh lebih baik jika sampah organik ini ditanam dalam tanah. Pada lahan yang luas di Hutan Pinus ini, dapat dibuat beberapa buah lubang untuk menampung sampah organik. Setelah lubang ini penuh, tutup, dan buat lagi lubang di tempat lain. Lubang pertama dapat digali kembali untuk memanen kompos yang terbentuk akibat proses pembusukan sampah organik pertama. Begitu seterusnya..., yang untung ya kita-kita juga. Bukan saja tanah menjadi tetap subur, tetapi juga bebas asap.

Kotornya Hutan Pinus Cikole

Pagi ini aku bersama Patricia dan Aita mengunjungi hutan favorit kami, hutan pinus di Cikole dekat Tangkuban Perahu. Hutan itu terletak di depan Camping Ground Cikole, di samping kiri jalan kalau kita berkendaraan menuju Tangkuban Perahu dari Bandung. Segarnya udara pagi itu mendadak hilang, terbang entah kemana, ketika kami melihat kotornya daerah itu oleh sampah yang ditinggalkan oleh pengunjung. Duh! Sedih juga melihat bagaimana orang Indonesia sama sekali acuh terhadap hal-hal yang beginian.






Ponakanku yang baru kelas 3 SD pun akan
mengerutkan keningnya jika melihat kondisi
yang menyedihkan ini.
Ini memang masalah pola hidup.

18 May 2008

Menjaga Kesuburan Tanah dengan Auto-Composting

"Tampak kotor dong!", begitu reaksi temanku ketika aku menerangkan konsep Auto-Composting kepadanya. Tetapi ketika dia melihat pot-pot bunga di belakang rumahku, ia malah berkomentar, "Wih artistik juga tuh!"
Apa itu Auto-Composting? Ini hanya sebuah nama doang. Tapi AC ini sebenarnya adalah kegiatan mengembalikan kembali nutrisi yang telah diubahnya menjadi biomassa kepadanya. Jadi, dedaunan, tangkai pohon, dan sebagainya, dikembalikan lagi ke tanah di pot itu, dan dibiarkan membusuk secara alami. Pengomposan ini tidak membutuhkan wadah khusus, karena blesss langsung ditaburkan di pot.
Aku memiliki pohon mawar yang kutanam di pot. Setiap hari aku memotong rantingnya, memotong bunganya yang telah mengering, mengembalikannya ke pot itu. Kubiarkan daundan ranting itu mengering dan terdegradasi di sana secara alami. Tidak ada yang terbuang sia-sia. Kekurangan nutrisi masih ditambahkan secara reguler dari luar dengan pemupukan, leaves-spray, dlsb. Namun sekarang tentu volumenya berkurang karena tanah praktis tidak mendapat pasokan nutrisi alami dari dirinya sendiri.
Bukan hanya pot bunga saja yang kuperlakukan seperti itu. Di pojok rumah, di kebun belakang aku memiliki pohon sirih yang dulu kuperoleh dari Mas Subagjo. Sirih ini kutanam di sebuah pot besar. Dauh dan ranting sirih yang telah menua aku umpankan kembali ke dalam pot. Tentu tak lupa kusiram terus, sehingga kelembabannya terjaga yang akan memberikan kondisi optimum bagi proses pengomposan sendiri ini. Kini sirih ini telah tumbuh dengan subur, tinggi merambat di tembok belakang rumahku. Terkadang, malah tumbuh terlalu cepat. Sehingga aku terkadang terpaksa memotong cabang yang terlalu panjang dan terlalu cepat tumbuh.
Konsep ini kugunakan di sebagian besar pot tanaman hias di rumahku. Agar tampak artistik, sebaiknya daun dan ranting yang akan dikomposkan dipotong kecil-kecil. Tidak saja akan menambah keartistikan, tetapi juga akan mempermudah proses degradasinya menjadi kompos. Cobalah!

Proyek HIMATEK untuk Pengabdian Pada Masyarakat 2008

Beberapa saat yang lalu, beberapa mahasiswa dari HIMATEK (Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia) ITB berdiskusi denganku. Mereka menceritakan beberapa proyek mahasiswa yang telah dilakukan hingga kini, dan rencana pengembangannya. Para idealis muda ini dengan, penuh semangat, membeberkan kerja keras yang mereka lakukan hingga kini.

Proyek Reklamasi Air Bersih
Kegiatan ini telah dilaksanakan sejak setahun yang lalu, ketika mahasiswa Program Studi Teknik Kimia angkatan 2006 melakukan kerja besar, membangun unit pengolahan air bersih berbasis teknolpogi membran di Desa Cililin. Teknologi ini dikembangkan di Kelompok Keahlian Perancangan dan Pengembangan Proese Teknik Kimia ITB oleh Dr. I Gede Wenten. Unit ini dibangun oleh mahasiswa dan dibantu oleh masyarakat setempat. Kini, unit ini telah beroperasi, walaupun selama musim hujan, unit ini tidak dijalankan. Beberapa kendala kemudian muncul, misalnya kecilnya kesadaran masyarakat untuk membangun kemampun ber-swadaya dalam proses pemeliharaannya dan penyediaan biaya operasinya. Well, itu akan muncul dengan sendirinya jika proses sosialisasi oleh tokoh-tokoh masyarakat di sana intens dilaksanakan.
Para mahasiswa melaporkan bahwa mereka telah menerima tawaran beberapa donatur untuk melakukan proyek pengembangannya. Beberapa rencana pengembangan telah dibuat dan tinggal menunggu pelaksanaannya.
Proyek reklamasi air bersih ini juga dilakukan oleh mahasiswa bagi masyarakat sekitar sungai Cikapundung. Unit pengolahan air bersih berbasis membran telah dibangun yang dilaksanakan oleh mahasiswa. Unit ini telah siap untuk digunakan, dan dalam waktu dekat akan diresmikan penggunaannya. Dalam kesempatan itu,mahasiswa berencana mengundang aku dan beberapa petinggi FTI.

Pembelajaran Pembuatan Kompos
Sudah dimulai beberapa tahun yang lalu di kawasan Cisitu Baru, dan tahun lalu kegiatan diteruskan di Desa Legok Hilir, Dago. Mengesankan, ketika mendengar bagaimana mahasiswa masuk ke sana dan melakukan pelatihan bagaimana membuat kompos dari sampah organik pada masyarakat. Hebatnya, ternyata mahasiswa tidak berhenti sampai di sana saja. Proses monitoring dan evaluasi dilakukan sepanjang tahun dan proses pembelajaran ini ternyata berhasil memotivasi sekitar 50% dari total kepala keluarga yang dilatih setahun yang lalu.

Pelatihan SRI (System of Rice Intensification)
Pada liburan panjang tahun ini, HIMATEK berencana untuk mengadakan pelatihan penanaman padi dengan metoda SRI di kawasan Ciparay. Dr. Mubiar Purwasasmita, pakar teknologi proses dan pemerhati lingkungan di Jawa Barat telah memberikan komitmennya untuk turut serta membantu pelatihan ini. Tahap pertama proses ini adalah pembelajaran kepada masyarakat bagaimana menyiapkan kompos dari sampah organik yang dibutuhkan dalam SRI. Sejalan dengan hal itu, pelatihan SRI akan dilakukan.

24 April 2008

HIMATEK untuk Masyarakat

Dalam kegiatan Dies-nya beberapa saat yang lalu, HIMATEK menyelenggarakan kegiatan sosial, "HIMATEK UNTUK MASYARAKAT". Salah satu karya yang diberikan adalah dengan memberikan penyuluhan tantang bagaimana cara membuat kompos dari sampah organik yang berasal dari rumah tangga. Dalam kesempatan itu, beberapa unit komposter dibagikan kepada masyarakat. Tentu, kerja ini tidak sampai di situ saja, tetapi mahasiswa melakukan monitoring berkala dan memberikan supervisi selama waktu tertentu tentang proses pembuatan kompos ini. Diharapkan, dengan demikian masyarakat tidak lagi membuang sampah organik ke tempat pembuangan sampah. Kegiatan ini secara langsung dapat mengurangi volume sampah yang dibuang. Penyuluhan pembuatan kompos ini dilaksanakan di Kelurahan Dago, Bandung.

22 April 2008

Himatek untuk Masyarakat

Foto bersama ketika anak-anak Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia (HIMATEK) ITB melakukan penyuluhan pembuatan kompos di Kelurahan Dago, Bandung.

Speechless!

Sampah yang membludak di sepanjang jalan Raya Lembang menuju ke Tangkuban Perahu ini sangat memalukan. Bukan hanya karena daerah ini adalah daerah tujuan pariwisata, tetapi juga karena tidak pantas.
Sampah ini mengonggok begitu saja di pinggir jalan, lalat menyebar ke mana-mana. Anehnya, rumah makan yang letaknya di dekat lokasi sampah ini, tetap saja penuh oleh pengunjung.
Speechless!

Komposter Full AC

Kesadaran akan pentingnya pengelolaan sampah, di lingkungan kita tinggal maupun di lingkungan kita bekerja, secara terbatas, sudah mulai dirasakan. Di belakang gedung Labtek X, Program Studi Teknik Kimia ITB tampak dua buah komposter berbentuk kerucut, terbuat dari kawat kasa berlubang-lubang, terpasang di tengah-tengah sebidang tanah yang penuh dengan pepohonan. Dua buah komposter itu dirancang sedemikian rupa sehingga proses aerasi akan berlangsung dengan sangat baik, semacam komposter full AC. Setiap pagi, sampah organik, daun-daunan, ranting, yang dikumpulkan oleh petugas kebersihan di Program Studi Teknik Kimia ITB, dimasukkan ke dalam komposter ini. Jadi, yang dibuang ke tong sampah adalah sampah plastik, gelas dan sampah lain yang tidak membusuk.
Pada bagian atas Komposter ini terdapat lubang kecil tempat memasukkan sampah organik. Tidak ada perlakuan spesifik yang diberikan kepada komposter ini. Air hujan akan turun dan sebagian kecil dari air tersebut akan membasahi sampah yang membusuk di dalam. Udara akan masuk ke media yang sedang membusuk dengan mudah karena memang komposter ini dibuat dari kawat kasa. Ke dalamnya tidak ditambahkan bakteri pembusuk, atau yang sejenisnya. Bakteri pembusuk dibawa secara alami oleh sampah yang ditaruh di sana. Karena bagian bawah kerucut ini berlubang, maka sampah kontak langsung dengan tanah, sehingga cacing tanah akan ikut membantu pembusukan di dalam komposter.
Konsep yang sangat sederhana, hanya mengandalkan kekuatan alam. Asyik!

14 April 2008

Pesan dari Pasar Balubur


Bukan tidak kebetulan karena Pasar Balubur dekat dengan ITB, sehingga suara ini juga datang dari Pasar Balubur. "Sukseskan PLTSa Gede Bage Dari Pasar Balubur Bandung" beberapa saat yang lalu menghiasi dinding bagian luar pasar ini yang menghadap ke Jalan Taman Sari. Sehingga setiap orang yang meliwati jalan ini, pasti akan dapat membaca pesan ini.

Aku yang kebetulan sedang membeli cartridge printer HP LaserJet 1300 sempat bertanya-tanya dengan sipenjual printer.

"Bang (kebetulan si penjual orang Sumatra Utara), Abang tahu apa itu PLTSa?"

"Mmmm.... (ragu-ragu) Pembangkit Listrik Tenaga Sampah?"

"Benar Bang! Abang tau di mana PLTSa itu akan dibangun?"

"Katanya sih di Gede Bage Mas, tapi tepatnya aku tak tahu..!"

"Abang tau apa artinya Global Warming?"

"Apaan tuh?"

"Abang tau apa itu dioxin?"

"Buset, apa pula itu?"

"Abang tau apa itu emisi gas buang?"

"Waduh mas, kalo bahasa-bahasa tinggi macam itu, tak taulah aku!"

"Ya udah..."

Dan hebatnya kenapa mereka bisa teriak bilang setuju dengan PLTSa? Karena memang mereka tidak bisa melihat dengan jelas apa yang akan terjadi pada kota Bandung ini, pada beberapa tahun mendatang, akibat dari emisi gas buang dari incenerator yang memenuhi kota ini. Mereka tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana kualitas hidup kita, kualitas hidup anak-cucu kita, di kota ini kelak.

Pilah Sampahmu!!

Perhatian saya tiba-tiba ditarik oleh sebuah kalender berukuran A1 yang tergantung di Kantor Tata Usaha Program Studi Teknik Kimia ITB. Kalender yang dipenuhi oleh warna-warna pastel yang sangat menarik. Di bagian atas tertulis huruf besar yang mencolok mata: "Pilah Sampahmu!!". Masing-masing bulan pada kalender itu digambarkan sebagai sebuah unit pemroses sampah dari sampah basah hingga menjadi kompos, bahan gelas dan kertas. Himbauan untuk memilah-milah sampah dilengkapi dengan ilustrasi yang menarik dan mendidik. Sebuah kreasi yang sangat bernilai, bukan hanya dari sudut estetika, tetapi juga dari sudut pembelajaran masyarakat betapa sampah dapat menjadi masalah besar jika kita tidak menghiraukannya. DI bagian bawah, aku melihat bahwa master piece ini dibuat oleh Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan ITB.

Take Action: No Incineration!

No Incineration.
At least 1,500 people wearing "Tolak PLTSa" (Against PLTSa) attend the community forum organized by the People’s Alliance against Waste-to-Energy plant at the Griya Cempaka Arum, Bandung, Indonesia last December 3, 2007 in conjuction with the Civil Society Forum climate justice campaign and the Global Day of Action Against Waste and Incineration. (Photo by Gigie Cruz/GAIA)

PLTSa lagi...

Just for your information...

Sosialisasi Studi Kelayakan PLTSa Bandung
BANDUNG, itb.ac.id – Tim studi kelayakan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) kota Bandung dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITB, Jumat (1/1) kemarin di LPPM, CCAR ITB lt.5, mensosialisasikan hasil studi kelayakan PLTSa tersebut kepada civitas dosen ITB. Dalam sosialisasi yang berlangsung singkat tersebut, Tim studi kelayakan (’feasibility study’/FS) diwakili oleh Dr. Ari Darmawan Pasek dalam membawakan presentasi tentang hasil studi kelayakan tersebut....

Blogger susah diakses dari ITB.

Sejak tahun lalu, Blogger susah sekali diakses dari ITB. Setiap aku berusaha mengakses situs ini, aku selalu dilempar kesana kemari, terkadang hang dan benar-benar tidak bergerak. Bukan itu saja. Setiap kali aku bisa mengakses situs ini, dan mulai menulis, aku selalu gagal menginsert gambar di tulisanku, yang membuat aku kadang-kadang geram sendiri.

Entah, aku sedang pikir-pikir mau pindah rumah...