19 June 2008

Pure Water for Society

Kampung Nunukan di Cililin kaya akan air, karena kampung ini terletak persis di samping waduk Saguling. Namun mereka sangat membutuhkan air bersih. Lho kok? Ya, karena air waduk saguling memang tidak layak untuk digunakan sebagai air untuk kebutuhan sehari-hari. Ketika aku mengunjungi kampung Nunukan saat itu, aku melihat air waduk keruh berwarna hijau karena lumut yang tumbuh di sana. Lumut itu tersuspensi dalam air sehingga sulit untuk dipisahkan. Saat ini, persis di samping Madrasah di kampung itu terdapat sebuah unit penghasil air bersih. Unit ini tampak jelas dari kejauhan karena tiga buah tangkinya yang berwarna oranye. Unit yang terdiri dari sebuah unit membran, pompa, bak air dan menara air ini berkapasitas 1 m3 air bersih per jam. Air bersih di sini berarti air yang telah layak untuk digunakan untuk memasak.
Setahun yang lalu, daerah ini menjadi sasaran aktivitas Pengabdian Masyarakat Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia ITB (HIMATEK) untuk kesekian kalinya. Keinginan untuk memberikan sesautu yang berarti bagi masyarakat Kampung Nunukan Cililin mendorong anak-anak HIMATEK mengumpulkan daya dan upaya secara mandiri. Beruntung Teknik Kimia ITB memiliki Dr. Ir. I Gede Wenten, seorang pakar membran tingkat dunia, yang menyumbangkan sebuah unit pemurnian air secara gratis. Sehingga dana yang terkumpul dari sana-sini, yang antara lain berasal dari Program Studi Teknik Kimia ITB, Sampoerna Foundation, dan berbagai pihak lainnya bisa digunakan untuk membangun infra struktur.
Jadi, ditariklah pipa air sepanjang 200 meter dari tengah danau dengan menggunakan pompa air berbahan bakar diesel. Air harus ditarik dari tengah danau karena hanya di daerah inilah air masih tersisa pada musim kemarau. Air danau yang masih keruh ini ditampung dalam sebuah bak penampungan air. Air ini kemudian diolah, dan disimpan dalam tangki air berkapasitas 3 m3.
Setahun lewat, kini ketika anak-anak meminta aku untuk datang melihat unit ini dan sekaligus meresmikan penggunaannya, serta merta aku menyanggupinya. Tanggal 14 Juni 2008, pimpinan proyek ini, Arizal, dan teman-temannya menjemputku. Kami berangkat dari Bandung sekitar jam 9:30 WIB. Kami membutuhkan waktu kira-kira 1 jam untuk sampai di Nunukan - Cililin. Setibanya di sana, aku diantar oleh Dani untuk melihat sistem yang telah dibangun oleh anak-anak HIMATEK. Bersama pak RW kami berperahu ke tengah danau, melihat instalasi pompa di sana. Berperahu dengan sampan kecil merupakan pengalaman tersendiri karena ternyata tidak senyaman yang aku bayangkan. Pompa yang digunakan untuk mengalirkan air dari tengah danau ke bak penampung air di kampung Nunukan diletakkan pada barak tambak ikan terapung di tengah danau. Ketika aku naik ke tambak, dudukan ternyata juga tidak stabil, karena ditopang oleh rakit yang terbuat dari drum kosong. Anyway, dari sistem yang telah dibangun, aku dapat membayangkan bahwa kerja yang telah dilakukan adalah sebuah kerja besar.
Akhirnya, melalui seremoni sederhana bersama masyarakat kampung dan perwakilan Sampoerna Foundation, unit pembersih air itu aku resmikan. Peresmian ditandai dengan pengoperasian pompa membran. Luar biasa, air dialirkan melalui membran, di tampung di tangki penampung di menara air, dan air bersih keluar begitu saja. Aku dapat merasakan kesan bangga di dada anak-anak HIMATEK ketika melihat air bersih itu mengalir.
Dan saat ini, melalui tulisan ini aku ingin membagi apa yang aku rasakan. Melihat apa yang telah mereka lakukan, aku merasa sangat bangga dan optimis bahwa anak-anak ini akan menjadi orang yang peduli akan lingkungannya. Anak-anak HIMATEK ITB lebih memilih untuk terjun langsung, bahu membahu menciptakan sebuah peluang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat kampung Nunukan. Tidak banyak lho himpunan mahasiswa Indonesia yang dapat berbuat seperti ini. Ketika perguruan tinggi lain masih berkutat dengan masalah kekerasan dalam proses pengkaderan mahasiswanya, mahasiswa Teknik Kimia ITB ini sudah bisa bertepuk dada: "Kami beda, lho!".
Ya, proficiat HIMATEK!
Just FYI, saat ini mahasiswa HIMATEK ITB tengah sibuk memberikan pelatihan pembuatan kompos dan penanaman padi dengan metoda SRI kepada masyarakat Ciparay.

30 May 2008

HIMATEK for Cikapundung

HIMATEK for Cikapundung adalah sebuah kerja. Kerja kecil yang bernilai sangat besar. Berawal dari seorang Rudi, sekarang alumni Program Studi Teknik Kimia ITB, yang dulu bermimpi untuk menyediakan air bersih bagi masyarakat sekitar sungai Cikapundung. Dipilihlah kampung Manteos, daerah di sekitar daerah Sangkuriang Dago, yang letakknya persis di pinggir singai Cikapundung, sebagai wahana kerjanya. Indahnya, kerja ini didukung penuh oleh adik-adiknya yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia (HIMATEK) ITB. Dan, kerja itu berbuah nyata. Mereka masuk ke kampung yang memiliki tatanan sosial masyarakat sangat sederhana. Sebagian besar penduduk kampung Manteos berprofesi sebagai buruh. Kebutuhan air sebagian besar masyarakat kampung ini dipenuhi oleh sungai Cikapundung yang kualitasnya telah sangat menyedihkan. Air yang berwarna coklat itu digunakan oleh masyarakat untuk mandi dan mencuci. Untuk kebutuhan minumnya, masyarakat mengandalkan mata air jernih yang telah sangat kecil, yang keluar dari bagian bawah bak penampung air jernih.

Dimulai tahun lalu, dan kemudian tertunda karena beberapa hal, lantas dilanjutkan kembali pada tanggal 4 Mei 2008 yang lalu, HIMATEK mengerahkan anggotanya untuk terjun langsung merealisasikan mimpi-mimpi mereka. Unit membran untuk Cikapundung ini disiapkan dengan bantuan pakar membran dunia yang juga staf pengajar Program Studi Teknik Kimia ITB, Dr. I Gede Wenten. Kualitas air yang dihasilkan telah memenuhi baku mutu air yang disyaratkan. Jadi dengan unit ini, masyarakat memiliki kesempatan untuk memperoleh pasokan air bersih dengan jumlah tak terbatas.

Kerja dimulai, mahasiswa yang tergabung dalam HIMATEK bersama-sama dengan masyarakat membangun unit ini. Sebuah bak besar berukuran kira-kira 10 m3 yang terletak di pinggir singai Cikapundung direnovasi. Unit membran dipasang. Sementara itu, kelompok mahasiswa yang lain memberikan penyuluhan pada masyarakat setempat dan anak-anak tentang pentingnya memilah sampah organik dan anorganik. Mereka memberikan pelatihan tentang pembuatan kompos dengan metoda pengomposan Takakura. Anak-anak diajak bermain malakukan kegiatan berburu sampah. Fun!. Mereka diajak untuk peduli terhadap lingkungan sejak umur dini. Para ibu rumah tanggapun tidak ketinggalan. Mahasiswa memberikan penyuluhan kepada mereka tentang pengelolaan sampah rumah tangga yang memang seharusnya mendapatkan perhatian. Kegiatan pengabdian masyarakat ini berlanjut hingga tanggal 11 Mei 2008, ketika unit penyedia air bersih yang berkapasitas 1 m3 per jam ini selesai dibangun dan siap untuk digunakan.

Pada tanggal 25 Mei 2008, aku diminta untuk meresmikan penggunaan unit ini. Dengan senang hati dan bangga aku menyanggupinya. Jalan menuju kampung Manteos merupakan pengalaman tersendiri, karena kampung ini terletak jauh di bawah lembah Sangkuriang, tepat di pinggi sungai Cikapundung. Aku seakan tidak percaya ketika aku melihat kualitas air sungai yang sudah sangat tidak layak untuk digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Coklat keruh dan berbau. Namun anak-anak Manteos masih sempat mendemontrasikan keahlian mereka berenang di sungai terpolusi ini. Terus terang, aku tidak tega melihatnya. Diawali dengan seremoni kecil, akhirnya unit penghasil air bersih ini diresmikan. Bambang, Ketua HIMATEK, dan Edo, Pimpinan Proyek ini, sempat mengatakan bahwa kerja ini kerja kecil, yang merupakan sumbangan mahasiswa Teknik Kimia ITB yang merasa memiliki tanggung jawab moral untuk mengembangkan taraf sosial masyarakat Bandung, terutama masyarakat sekitar ITB. Bagiku kerja ini kerja besar, karena melalui kegiatan ini mahasiswa dapat menemukan jati dirinya sebagai peletak idealisme yang selama ini selalu menjadi motor penggerak kegiatan-kegiatan seperti ini. Pada sambutanku, aku mengatakan bahwa Program Studi Teknik Kimia sangat bangga memiliki mereka sebagai bagian dari civitas akademika Teknik Kimia ITB.
Bersama Pak RW 15 dan pak RT 04, kami menggunting pita. Rasa bangga para mahasiswa yang tergabung dalam HIMATEK aku rasakan sangat kental melihat hasil kerja mereka terpampang di depan mata mereka dan dapat dinikmati oleh masyarakat yang membutuhkannya. Aku sebagai Ketua Program Studi Teknik Kimia ITB memiliki pula rasa itu. Kerja besar ini terasa terbayar ketika melihat senyum dan roman muka bahagia pada masyarakat setempat. Betapa tidak, proyek yang telah diinisiasi sejak setahun yang lalu kini tuntas. Belum! Karena mahasiswa masih memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga keberlangsungan operasi unit ini. Edo melaporkan kepadaku bahwa mereka masih harus terus melakukan monitoring berkala kegiatan pengoperasian unit ini. Mahasiswa dan masyarakat juga masih terus berdiskusi tentang bagaimana memelihara unit ini. Mahasiswa masih terus berusahan untuk mencari sponsor yang dapat memberikan sumbangan dana pemeliharaan unit ini. Karbon aktif yang harus diganti setiap bulan serta membran yang harus diganti setiap 2-3 tahun memerlukan biaya yang tidak sedikit bagi masyarakat kampung Manteos.

Kini masyarakat kampung Manteos di daerah Sangkuriang telah memiliki unit penghasil air bersih. Masyarakat kampung yang terletak di pinggi sungai Cikapundung tentu merasakan langsung manfaat ketersediaan air bersih di kampungnya. Kerja belum selesai. Mahasiswa masih memiliki mimpi-mimpi yang lain. Proyek yang sama, yang dilakukan di Cililin setahun yang lalu sudah menunggu untuk dikembangkan. Proyek penyuluhan SRI (system of rice intensification) yang akan dilakukan di Ciparay juga segera akan digelindingkan. Siapa bilang mahasiswa ITB memble?

28 May 2008

Bakar-bakaran di Malam Hari

Kalau sedang apes, ya sial terus. Kemarin kena asap, hari ini kena lagi. Kali ini aksi pembakaran sampah malah terjadi secara berjamaah. Kejadian ini terjadi tepat di depan pintu gerbang ITB, di bawah pohon di persimpangan Ganesha-Skanda. Asap tebal berasal dari paling sedikit 3 tumpuk sampah yang terbakar. Asap yang terbentuk demikian tebalnya, sehingga tampak seperti kabut dan menyesakkan nafas. Duh Gusti!.

26 May 2008

Taman Ganesha Berasap

Pagi ini, Taman Ganesha berasap. Karena angin yang berubah-ubah, asap disebarkan ke mana-mana, hingga aroma asap yang menyengat ini tercium hingga Jalan Gelap Nyawang, Jalan Ganesha, hingga pintu Gerbang ITB. Aku penasaran, dan berkeliling mencari sumber asap ini. Ketemu! Seonggok sampah yang terdiri dari daun-daunan kering dibakar di sana. Sebenarnya tidak terlalu besar, tetapi karena terbawa angin yang arah berubah-ubah, asap yang dihasilkannya tersebar ke seluruh daerah ini. Terlepas dari aksi bakar-bakaran ini, yang paling penting untuk disimak adalah adalah, siapa yang bertanggung jawab untuk memberikan pembelajaran kepada petugas kebersihan di sana bahwa sebaiknya sampah organik yang terdiri daun-daunan kering ini komposkan saja? Taman Ganesha memiliki luas lahan yang cukup besar, dan alangkah baiknya jika di sebuah sudut taman dibuat sebuah unit komposter untuk menampung sampah organik yang dihasilkan oleh pepohonan di sana. Hanya sebuah usul kecil, yang mungkin tidak pernah terdengar oleh Pemerintah Kota Bandung.

Insan Berbudaya vs Sampah

"Insan Berbudaya Harus Peduli Kebersihan" begitu seruan pada papan putih yang terpancang di pojokan Jalan Skanda dan Jalan Gelap Nyawang, persis di sebelah seonggok sampah yang dibuang oleh, entah orang buta huruf, atau orang yang ingin mengumumkan pada dunia bahwa ia bukanlah Insan Berbudaya yang dimaksud oleh tulisan pada papan pengumuman itu.
Oh, tidak, ini bukanlah satu-satunya ironi yang terjadi pada masyarakat kita. Telah sering kali ironi ini terjadi dan muncul di mana-mana. Namun kecaman pedas dan teguran keras tampaknya tidak cukup untuk menghentikan kejadian serupa. Mengapa demikian?
Mentor saya pernah bilang bahwa ini adalah masalah pola hidup. Untuk mengubah pola hidup yang seakan-akan tidak mempedulikan masalah sekitarnya ini memerlukan pembelajaran yang intensif, mulai dari penanaman nilai-nilai luhur dalam keluarga, hingga proses formal yang pada dasarnya mengubah pola pikir kita. Sepanjang pola pikir kita tidak diubah, pola hidup tidak akan pernah berubah. Sepanjang pola pikir bahwa membuang sampah seenaknya ini adalah perbuatan yang sangat tidak bertanggung jawab, dan sepanjang setiap orang berpendapat bahwa masalah sampah adalah masalah pemerintah kota, Bandung tidak akan pernah bebas dari masalah sampah.