27 April 2007

HIMATEK Melakukan Penyuluhan Pembuatan Kompos

Menyambung tulisanku beberapa waktu yang lalu, kali ini aku ingin membagi pengalaman yang diperoleh oleh adik-adik mahasiswa dari HIMATEK ketika mereka melakukan penyuluhan membuat kompos.

"HIMATEK UNTUK MASYARAKAT", adalah sebuah kegiatan penyuluhan dari para mahasiswa Teknik Kimia ITB kepada masyarakat Cisitu (RW 11, Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong). kegiatan ini dimaksudkan untuk memberi penyuluhan kepada masyarakat pentingnya mengolah sampah rumah tangga secara mandiri. Dalam kegiatan ini, penyuluhan hanya difokuskan pada bagaimana cara mengolah sampah organik menjadi kompos. Kegiatan ini diadakan pada hari minggu, 26 November 2006.
Pada hari itu, tepat jam 10 pagi, para mahasiswa yang telah diberikan bekal pengetahuan penyuluhan tentang bagaimana cara mengolah sampah organik menjadi kompos mulai memberikan penyuluhan kepada tokoh masyarakat dan ketua RT. Metoda penyuluhan secara selektif ini dilakukan karena keterbatasan tempat dari tempat terselenggaranya acara.

Penyuluhan dilakukan dengan penjelasan kepada masyarakat mengenai masalah bersama kota Bandung tentang Penumpukan Sampah, kemudian tentang cara menanggulangi sampah organik rumah tangga yang dapat terdegradasi secara alami dalam waktu cukup singkat. Masyarakat diajarkan untuk memilah sampah rumah tangga mereka sendiri, selanjutnya sampah organik dimasukkan ke dalam suatu tempat khusus yang sudah disediakan yang disebut sebagai Bioreaktor Kompos. Prinsip kerja dari bioreaktor cukup mudah yaitu dengan memanfaatkan reaksi pembusukan secara alami pada sampah organik dengan bantuan bakteri. Diperlihatkan pula kepada masyarakat bahwa biaya produksi dan operasional bioreaktor ini sangat murah, sehingga dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Yang sangat menggembirakan adalah respon masyarakat Cisitu terhadap kegiatan ini sangat positif. Antusiasme masyarakat dalam mengikuti kegiatan ini terlihat dari kesungguhan masyarakat dalam mengikuti acara ini sejak awal hingga berakhir.

Acara penyuluhan ini dilanjutkan dengan pemasangan 20 bioreaktor di dalam 20 rumah yang telah ditunjuk sebelumnya oleh Ketua RW 11. Bioreaktor dan seluruh kegiatan ini diadakan secara cuma-cuma oleh Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia ITB (HIMATEK – ITB), sebagai wujud kepedulian terhadap masalah sampah yang terjadi di Bandung akhir – akhir ini. Dana untuk kegiatan ini merupakan swadaya dari staf pengajar Teknik Kimia ITB dan HIMATEK – ITB. Rumah – rumah dipilih sedemikian rupa agar tersebar secara merata di RW 11. Secara berkala, mahasiswa Teknik Kimia ITB akan terus memantau kegiatan ini. Satu kali dalam seminggu mahasiswa melakukan kunjungan untuk memonitor dan mengevaluasi proses pembinaan masyarakat. Masyarakat yang mengalami kesulitan dalam mengoperasikan reaktor kompos ini dapat langsung bertanya dan mendapatkan solusinya pada saat kegiatan monitoring ini. Ketua RW 11 Cisitu sebagai wakil dari masyarakat setempat berharap agar kegiatan – kegiatan seperti ini dapat berlangsung bukan hanya di daerah RW 11 tetapi juga di RW – RW lainnya mengingat masalah sampah yang belum tertangani secara menyeluruh. Sejalan dengan hal itu, Departemen Teknik Kimia FTI ITB berharap kegiatan sosial seperti ini dapat terus berlangsung untuk membuktikan eksistensi mahasiswa di dalam masyarakat.

Rudi, ketua panitia, mengaku bahwa persiapan dari kegiatan ini tidak main – main. Beberapa bulan sebelum kegiatan ini berlangsung telah diadakan penelitian terhadap bioreaktor ini dan hasil yang dicapai cukup memuaskan. Rudi menambahkan bahwa pelatihan – pelatihan mengenai penggunaan bioreaktor kompos juga dilakukan untuk memastikan bahwa penyuluh memiliki pengetahuan yang cukup agar dapat menjelaskan dengan baik kepada masyarakat. Secara khusus, antusiasme mahasiswa terhadap kegiatan ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya mahasiswa yang mendaftar untuk turut serta sebagai penyuluh dalam acara ini, terutama mahasiswa termuda dari angkatan 2006.

Masalahnya sekarang adalah, bagaimana agar kegiatan ini menjadi sustain, berkelanjutan. Mahasiswa harus diberi motivasi agar determinasi yang telah ada dijaga dan dikembangkan. Critical mass yang berasal dari kampus ini harus didaya-gunakan, sehingga kesadaran akan pengelolaan sampah secara mandiri merupakan kebudayaan luhur yang harus dikembangkan. Bersih, sehat dan cool.

25 April 2007

Sampah Kota: Dibuang Menjadi Masalah, Disimpan Menambah Masalah, Hendaknya Diolah Hingga Tuntas

Judul makalah yang ditulis oleh Dr. Mubiar Purwasasmita ini memang panjang, tapi komprehensif. Berikut prolognya:

Sudah sejak lama prestasi kerja pengelolaan sampah selalu menjadi ukuran tak terbantahkan untuk menunjukkan baik buruknya manajemen pengelolaan suatu kota, kantor, kampus, sekolah, bahkan sebuah keluarga sekalipun. Sehingga longsornya bukit sampah di TPA Leuwi Gajah mengubur lebih dari 150 penduduk Kp Cilimus dan Kp Cireundeu hingga tewas sungguh merupakan peristiwa paling memilukan sepanjang sejarah pengelolaan sampah kota yang saya ketahui. Penyebabnya jelas merupakan akumulasi dari berbagai langkah negatif yang selama ini terjadi, mulai dari kegagalan pilihan teknis, keteledoran kerja, kesalahkaprahan manajemen kota, hingga ketidak pedulian semua pihak terhadap permasalahan sampah kota. Terbukti sudah Kota ini sama sekali tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengelola sampahnya secara benar. Sampah tidak diolah secara tuntas, cukup dengan aksi kumpul, angkut, buang, asal hilang dari pandangan mata. Ketika TPA Leuwi Gajah tidak berfungsi Kota inipun dipenuhi timbunan sampah yang berbau, mengganggu dan mungkin memalukan.

Selengkapnya...

Bandung Tidak Bisa Mengelola Sampahnya Secara Mandiri

Bandung telah tidak mampu mengelola sampahnya sendiri? Kalau statistik tahun 2003 di atas menjadi acuannya, ya memang Bandung telah kewalahan dalam mengelola sampahnya sendiri. Bayangkan, hanya 53% dan sampah yang dihasilkan oleh penduduk Metropolitan Bandung yang dapat diolah oleh PD Kebersihan. Sisanya lagi, entah! Dari seluruh distrik Metropolitan bandung, keadaan yang paling parah adalah Kabupaten Sumedang, dimana hanya 26% dari sampah yang dihasilkan yang dapat dikelola secara formal.

Namun jika disimak lebih lanjut, terlihat bahwa orang Kota Bandung dan Cimahi merupakan masyarakat yang memproduksi sampah paling banyak. Orang Kota Bandung memproduksi sampah kira-kira 4 liter/hari per orangnya dan orang Cimahi memproduksi 3 liter/hari per orangnya. Bandingkan dengan orang kabupaten Bandung yang memproduksi sampah setengahnya saja, yaitu 2 liter/hari per orangnya. Produksi orang Kabupaten Bandung ini masih lebih sedikit dari produksi sampah orang Sumedang yang mencapai 2,5 liter/hari per orangnya.

Keadaan ini dapat lebih parah pada tahun 2007 ini, mengingat banyak TPA yang tidak berfungsi maksimal. Sehingga, memang pengelolaan sampah secara mandiri harus dilakukan oleh masyarakat.

24 April 2007

Pengelolaan Sampah Mandiri

Pada beberapa kesempatan, aku sering berdiskusi dengan Pak Mubiar Purwasasmita, pakar teknologi proses dari Program Studi Teknik Kimia ITB, tentang masalah sampah kota Bandung. Beliau adalah Ketua Dewan Pakar DPKLTS (Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda). Salah satu pemikiran beliau adalah bagaimana memasyarakatkan sistem pengelolaan sampah secara mandiri. Aku bersyukur karena aku mendapatkan materi ini langsung dari beliau. Inilah dia...

  1. Jenis dan jumlah sampah kota di Indonesia sangat tipikal, didominasi oleh jenis sampah organik dalam jumlah yang cukup besar. Diperkirakan dalam dua dekade ini komposisi tersebut masih akan berkisar pada prosentase 60 - 75% sampah organik dengan timbulan sampah 0,50 – 0,67 kg/orang/hari dan kepadatan 200 kg/m3. Hal ini terjadi karena pola hidup dan kehidupan sehari-hari masyarakat kita masih akan tetap berbasis pada produk dan kegiatan pertanian. Justru kenyataan inilah yang seharusnya dijadikan antisipasi strategi pengolahan sampah secara tuntas di Indonesia baik di pedesaan maupun di perkotaan.
  2. Kebanyakan pilihan teknik olah sampah yang diperbincangkan selama ini adalah teknik terbukti di negara lain tanpa mempertimbangkan perbedaan sifat alam dan budaya masyarakat setempat asal teknik-teknik tersebut dikembangkan. Kenyataan menunjukkan bahwa hampir semua teknik pengolahan sampah yang diterapkan tidak diapresiasi dengan baik oleh rakyat maupun pemerintahan, karena dianggap tidak menjawab tantangan permasalahan yang muncul atau tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di Indonesia. Namun sayang upaya mencari kembali pemecahannya tidak pernah dilakukan secara terbuka dengan melibatkan semua pihak yang terkait, seolah-olah masalah itu hanya sekedar tugas PD atau Dinas Kebersihan. Kenyataan yang berlarut-larut inilah yang kemudian membangun budaya tidak peduli terhadap sampah, yang akhirnya rakyat dan pemerintahan kita tidak berdaya lagi menghadapi permasalahan sampahnya.
  3. Ambil contoh pilihan teknis pengolahan sampah seperti sanitary landfill yang selalu saja akhirnya hanya menjadi sekedar open dumping dimana sampah hanya dikumpul-diangkut-dibuang tidak diapa-apakan lagi, dan kejadian seperti ini masih saja terus berulang seperti tidak penah mau berubah. Teknik ini seringkali dianggap tidak sesuai dengan kenyataan khas alam kita yang bercurah hujan banyak dan bertanah asal rempah gunung berapi yang mudah luruh. Namun yang paling dirasakan tetapi tidak diungkapkan, nampaknya semua pihak merasa sangat sayang mengalokasikan luas lahan atau ongkos yang dianggap mahal hanya untuk mengolah sampah.
  4. Demikianlah jadinya kalau pemecahan permasalahan sampah kota hanya dipandang sebagai masalah sektoral saja atau sekedar menekan mata anggarannya. Sasaran pencapaian layanan belum menjadi komitmen utama. Sangat kebetulan masalah-masalah lainnya pun ditangani secara sektoral juga sehingga pendekatan yang tidak sistematik, tidak menyeluruh, dan tidak tuntas untuk penanganan sampah tidak pernah dipermasalahkan.
  5. Secara kronologis keilmuan, kesadaran tentang cara pandang terhadap lingkungan terjadi pada akhir dekade tahun 1960-an karena berkembangnya metoda pendekatan sistem pada awal dekade tersebut. Para pakar sadar bahwa masalah lingkungan harus dihadapi sebagai permasalahan sistem bukan sebagai masalah di luar sistem, bukan dipelajari sebagai dampak terhadap lingkungannya namun terhadap sistem secara keseluruhan. Istilah keterkaitan ekosistem yang akan menjelaskan duduk permasalahan sampah dalam keutuhan sistem merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum menetapkan teknik pengolahan yang akan diberdayakan dan dibudayakan. Lebih lanjut pemahaman di atas didukung oleh munculnya kesadaran akan keterbatasan sumberdaya alam akibat terjadinya krisis minyak dunia pada pertengahan dekade tahun 1970-an. Penanganan yang berkaitan dengan sumberdaya alam tidak dapat diukur sebatas pertambahan nilainya saja namun harus mampu membangun manfaat yang relevan dan berkesinambungan. Keterkaitan ekosistem dalam arti manfaat inilah kemudian yang harus dicari pada setiap rancangan pemecahan permasalahan lingkungan seperti masalah sampah, penggalian bahan tambang, penebangan pohon, dan hilangnya sumberdaya air. Sehingga tidak usah heran bila ada pemecahan permasalahan secara tuntas justru terjadi pada solusi yang diambil di luar sektor garapan bukan pada sektor permasalahannya, seperti kalau sungai sakit yang harus disembuhkan adalah hutannya dulu bukan dikutak-katik sungainya.
  6. Cara pandang di atas tentunya berlaku pula dalam sektor pertanian dan sektor persampahan. Cara pandang pertanian yang telah berubah untuk lebih memungsikan tanah sebagai pabrik alamiah yang dapat memproduksi nutrisi sendiri bagi tanaman akan mendorong kita untuk mampu melengkapkan komponen-komponen pabrik alamiah ini dalam tanah. Struktur tanah sebagai bioreaktor harus dibangun agar kontak air dan udara di dalam tanah dapat terjadi dan mikroorganisme yang hidup diantaranya dapat menjadi para pekerja alamiah yang paling produktif. Ternyata komponen utama pabrik alamiah ini adalah kompos, yaitu biomassa yang telah diubah menjadi bentuk dan unsur yang sangat diperlukan untuk membentuk struktur tanah dan mengkondisikan kerja mikroba di dalam tanah.
  7. Dengan demikian teknik pertanian yang sangat perlu dikuasai para petani dan harus didukung oleh pemerintahan adalah teknik pengomposan. Petani harus dapat mengembalikan kompos ke dalam tanah garapannya sesuai dengan banyaknya produk pertanian yang dipanen dan dijual dari lahan tersebut. Kegiatan tersebut harus dapat membangun kembali siklus biomassa yang paling alamiah dari unsur hara dalam tanah, menjadi tanaman dan produk tanaman, lalu menjadi sampah biomassa, dan menjadi unsur hara lagi di dalam tanah. Sehingga olahtanah yang diperlukan adalah menjaga agar fungsi tanah sebagai pabrik alam dapat berlangsung sebagaimana mestinya.
  8. Sampah kota adalah konsentrasi biomassa yang terutama berasal dari produk pertanian juga. Bila bahan tersebut dapat terpilah dengan baik sebagai sampah hayati yang bersih dari bahan plastik, gelas, kaleng dan bahan anorganik lainnya, maka bahan ini sudah akan merupakan bahan utama pembuatan kompos yang sangat diperlukan lahan pertanian. Para petani atau para pengompos yang akan membantu petani akan serta merta mengambil bahan ini untuk dikomposkan di lahan pertaniannya bila mereka benar-benar mengetahui dan menikmati keuntungan yang dapat diperoleh dari hadirnya kembali siklus biomassa alamiah di lahan pertaniannya, baik di sawah maupun di kebun. Pemerintahan kota tinggal mampu membiasakan penduduknya untuk dapat memisahkan sampah secara seksama menjadi sampah organik bakal kompos dan sampah non-organik bakal bahan daurulang di rumahnya masing-masing. Kemudian di kumpulkan di tempat-tempat pengumpulan sementara (TPS) yang berbeda pula, sehingga ada TPS khusus sampah organik untuk bahan kompos dan TPS khusus sampah non-organik bakal bahan daurulang dengan perbandingan 4:1 sesuai dengan jumlah dan komposisi sampah di wilayah masing-masing. Di TPS khusus sampah bakal kompos dapat ditempatkan mesin perajang sampah sehingga akan lebih memudahkan pengangkutan sampah lebih lanjut ke lahan pertanian. Sehingga petani atau pengompos yang sudah gandrung biomassa untuk bahan komposnya akan serta merta mengambil sampah organik dari TPS organik, terutama bagi daerah pertanian di seputar kota.
  9. Lahan pertanian dan sawah di seputar kota Bandung misalnya memiliki luasan yang sangat berarti dan layak dipertahankan keberadaannya karena memang sesuai dengan karakteristik alam serta budaya setempat, dan yang lebih penting lagi karena kota Bandung untuk kepentingan ekosistem dan iklim mikronya akan memerlukan agar lahan ini tetap sebagai sawah atau lahan pertanian. Kalau saja satu hektar lahan pertanian atau sawah memerlukan tambahan biomasa sebanyak 10 ton untuk setiap musim tanamnya diluar biomassa yang dihasilkannya sendiri seperti sekam dan jerami, maka sampah kota yang dapat diserap adalah setara 200 kg sampah organik setiap harinya. Berarti timbulan sampah organik kota Bandung 3000 ton/hari cukup diserap oleh luas sawah 15.000 ha di seputar Bandung.
  10. Olahsawah dengan paradigma baru pertanian seperti dijelaskan di atas akan menggunakan kompos yang memadai untuk membuat struktur tanah menjadi lebih gembur sehingga pasokan udara ke dalam tanah menjadi lebih baik, mendorong mekanisme siklus organisme dalam tanah lebih kaya, menjamin pasokan nutrisi dan pengendalian hama tanaman yang lebih baik, serta penggunaan airpun menjadi sangat hemat karena tidak berlebihan. Produksi padinya dapat mencapai 12-14 ton perhektar atau 2 – 3 kali lebih banyak dari biasanya, dengan biaya operasi yang jauh lebih ringan serta harga dan mutu padi yang dihasilkan lebih tinggi. Dengan demikian bertani secara organik dengan menggunakan kompos sebagai bahan utama olahlahan bukan lagi sekedar pilihan, namun merupakan keharusan yang kalau dilaksanakan bukan saja meningkatkan nilai dari produksi pertanian namun sekaligus membuat kota mampu menangani masalah sampahnya.
  11. Demikianlah bahasan di atas dimaksudkan untuk dapat memberikan gambaran bahwa sebenarnya masalah pengolahan sampah kota dapat dirancang secara tuntas dengan sepenuhnya memperhatikan kriteria keterkaitan ekosistem dan keterkaitan manfaat, yang mampu menjamin kesinambungan unjuk kerja lahan pertanian dan kualitas kebersihan kota yang dapat diandalkan. Langkah segera yang harus dilakukan adalah merubah perilaku penanganan sampah sehari-hari di rumah-rumah agar dapat memilah dengan seksama sampah organik bakal kompos dari sampah non-organik bakal bahan daurulang, lalu dikumpulkan di tempat penampungan sementaranya masing-masing juga secara terpisah. Serta di pihak lain merubah perilaku pertanian agar lebih memperhatikan keberlangsungan siklus biomasa di lahan pertaniannya. Tugas pemimpin dan pemerintahan terutama bagaimana dapat memotivasi dan memfasilitasi agar hal tersebut bisa terwujud.

Penumpukan Sampah di Beberapa TPS Kota Bandung Raya

Dampak rusaknya jalan ke beberapa TPA akibat musim hujan kali ini mulai terasa di mana-mana. Penumpukan sampah kota mulai terasa di beberapa titik kota Bandung. Salah satu yang paling menderita adalah TPS di jalan Gunung Batu. TPS ini telah mulai kewalahan menerima sampah rumah tangga dari warga sekitar, sehingga beberapa tumpukan sampah telah luber keluar TPS. Tumpukan karung berisi sampah yang atur di TPS telah mulai menggunung. Jika hal ini tidak terangkut, minggu depan TPS ini tidak bisa lagi menerima buangan sampah dari warga sekitar.

Bau busuk juga telah mulai menyebar ke daerah sekitar TPS Jalan Koloner Masturi, di belakang Masjid Raya Cimahi. Bau ini mulai mengganggu masyarakat sekitar dan masyarakat pengguna jalan.

Bandung telah memasuki kondisi darurat sampah, lagi!

23 April 2007

Studi Alternatif Pengelolaan Sampah di Pasar Caringin

Digital library Perpustakaan Pusat ITB memberikan banyak sekali hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan sampah. Ketika aku mencoba untuk searching kata kunci "sampah", aku mendapatkan lebih dari 140 penelitian yang berhubungan dengan sampah. Luar biasa! Salah satunya adalah "Studi Alternatif Pengelolaan Sampah di Pasar Caringin" yang dilakukan oleh Indriany Novita, mahasiswa Teknil Lingkungan, ITB. Berikut adalah abstrak penelitiannya:

Sampah merupakan hasil samping dart aktivitas manusia dan berasal dart suatu proses alamiah. Di daerah perkotaan, sampah sering menimbulkan masalah. Salah satu permasalahan yang banyak dijumpai adalah masalah persampahan di pasar tradisional. Pasar tradisional merupakan sarana perdagangan yang penting bagi masyarakat kota. Sayangnya, kehadiran pasar tradisional ini dapat mengganggu masyarakat jika sampahnya tidak dikelola dengan balk Salah satu sarana perdagangan yang penting di kola Bandung adalah Pasar Induk Caringin yang terletak di Kelurahan Babakan Ciparay, Kecamatan Babakan Ciparay, Kotamadya Bandung. Pasar ini menempati wilayah seluas 11 hektar dan ditempati oleh sekitar 2100 pedagang. Sampah yang terdapat di Pasar Induk Caringin merupakan sampah yang ditimbulkan oleh aktivitas pedagang dan pengunjung pasar. Terdapat 2 buah tempat pembuangan sementara (IPS) di dalam wilayah Pasar Induk Caringin. Timbulan sampah yang terkumpul di TPS I adalah sebesar 101,68 m3/hari dengan densitas 0,33 kg/1 atau sama dengan 33,55 ton/hari, sedangkan timbulan sampah yang terkumpul di TPS II adalah sebesar 33.89 m3/hari dengan densitas 0,13 kg/l atau sama dengan 4,4 ton/hari, sehingga total timbulan sampah di Pasar Caringin adalah 135,57 m3/hari atau sama dengan 37,96 ton/hari. Sampah di dalam pasar terutarna ditimbulkan oleh para pedagang dengan timbulan yang berbeda-beda menurut jenis barang dagangannya. Kontribusi terbesar berasal dari pedagang hasil pertanian. Sampah di pasar didominasi oleh garbage, yaitu sekitar 90% berat. Kadar air sampah rata-rata Pasar Caringin pada musim kering adalah sekitar 74,02%. Kadar volatil sampah rata-rata adalah 86%. Kadar C-organik sampah rata-rata adalah 56,59%. Kadar Nitrogen sampah rata-rata adalah 1,97%. Permasalahan persampahan di Pasar Induk Caringin ini terutama terdapat pada teknis operasional yaitu sistem pewadahan yang tidak memadai, sistem pengumpulan yang belum efisien, dan sistem pengangkutan yang /wrong memadai serta pada peran serta masyarakat. Kesadaran pedagang akan kebersihan yang masih kurang dan pengaturan parlor yang arcing balk merupakan kendala dalam pelaksanaan pengelolaan sampah di pasar ini. Upaya pengolahan belum ada, sehingga jumlah sampah yang dibuang ke TPA sangat banyak. Dari hasil analisis dan pembahasan, maka disusun rekomendasi alternatif sistem pengelolaan sampah untuk pasar tersebut. Alternatif yang diusulkan adalah penyediaan wadah sampah di area ruko, dan diterapkannya pengolahan sampah di pasar itu sendiri dengan cara pengomposan.

Jadi siapa bilang mahasiswa ITB memble tentang masalah sosial seperti masalah sampah di Bandung? Masalahnya sekarang adalah, apakah rekomendasi yang telah dikeluarkan ini telah pernah disosialisasikan ke pemda?

20 April 2007

Penumpukan Sampah di Jalan Gunung Batu

Buntut dari rusaknya beberapa ruas jalan ke beberapa TPA di Bandung menyebabkan penumpukan sampah di mana-mana. Salam satu tumpukan sampah yang telah terlihat menggunung adalah sampah di sebuah pojokan Jalan Gunung Batu, dekat Supermarket Borma. Tumpukan sampah itu telah mulai terlihat sejak 2-3 minggu yang lalu. Saat ini, pengelola sampah di sana telah membungkus sampah-sampah dengan karung beras dan menumpukkan di sisi sebelah selatan, menunggu truk pengangkut sampah.

06 April 2007

Bandung Kembali Dipenuhi Sampah

Bandung kembali dipenuhi sampah. Sampah menumpuk di beberapa titik, dan situasinya telah sangat mengkhawatirkan. Sampah menumpuk di beberapa TPS, di antaranya di TPS Tegallega, TPS Pasar Andir, TPS Ciroyom, dan di TPS Pagarsih.
Aku berusaha mencari berita di berbagai sumber, akhirnya ketahun bahwa jalan ke TPA Sarimukti memang sedang rusak berat. Bah, memang keadaan Bandung sangat rentan dan sangat bergantung pada "kesehatan" TPA-TPA yang dimiliki oleh Bandung. Jika salah satu TPA yang ada ngadat, Bandung akan selalu kebanjiran sampah. Menyedihkan.