Dana Pengelolaan Sampah di Bandung
Salahnya di mana sih? Kemarin aku berbincang-bincang dengan Pak Tatang Hernas Soerawidjaja (Prodi Teknik Kimia ITB) tentang filosofi pengelolaan sampah di Bandung yang amburadul. Seharusnya, PD Kebersihan kembali dijadikan Dinas Kebersihan saja. PD Kebersihan adalah bentuk ketamakan dan salah kaprah dari sistem pengelolaan sampah di Bandung. Mengapa? Bentuk perusahaan daerah seperti PD Kebersihan (yang nota bene, komisarisnya adalah Walikota!) memang berbasis keuntungan. Padahal, menurut Pak Tatang, mengelola sampah itu pasti rugi.
Dari yang disampaikan oleh Pak Subagjo (Prodi Teknik Kimia ITB), aku malah sempat berhitung-hitung, hanya Bandung yang punya PD Kebersihan yang dapat untung besar. Dana yang bisa terkumpul dari retribusi sampah yang Rp 5000,- setiap bulan per KK itu sangat melimpah, tetapi Pemkot tidak melakukan apa-apa.
Dan, Pikiran Rakyat hari ini mengetengahkan bahwa Bappenas siap menganggarkan dana yang cukup besar jumlahnya untuk biaya pengelolaan sampah di Bandung. Ouch!. Kerancuanpun mengemuka. Simaklah:
Menurut Paskah, Bappenas siap untuk membantu pendanaan bila memang diminta bantuan. "Apalagi, saya sudah mendapat perintah dari presiden dan wapres untuk membantu penyelesaian sampah di Bandung. Sebagai warga Bandung, saya malu karena tiga menteri strategis yakni Meneg PPN/Kepala Bappenas, Menteri Negara LH, dan Menristek adalah warga Bandung," kata Paskah. Ia menjelaskan, kalaupun ada permintaan, masih ada masalah yakni pengelolaan sampah di Bandung saat ini sudah ditangani oleh perusahaan daerah (PD) atau badan usaha milik daerah (BUMD), bukan oleh dinas.
"Kalau mau meminta bantuan APBN atau pinjaman dari luar, bisa saja kita carikan tapi PD Kebersihan harus diaudit dulu, dia harus tunjukkan neraca yang baik," ujarnya.
Hancur lebur berantakan! Memang, para aparat kota saat ini HARUS, dan mau tidak mau, mengenyampingkan arogansi dan mulai terbuka pada pendapat kalangan lain, seperti universitas dan LSM. Dalam tulisanku beberapa waktu yang lalu, terkuak kenyataan bahwa aparat kota sama sekali tidak berupaya untuk mencari solusi pengelolaan sampah di kandangnya sendiri. Seorang pakar lingkungan dan pemerhati tanah Parahyangan yang berasal dari kalangan akademisi, Pak Mubiar Purwasasmita, mengaku bahwa ia telah bosan berbicara dengan pihak pemerintah yang selalu tidak mau berkompromi dengan tautan cerdas yang diungkapkannya. Padahal, kalau saja studi fenomenal tentang SRI yang digalakkan oleh Pak Mubiar yang telah berhasil di berbagai daerah di Jabar itu dapat diadaptasi oleh Bandung, Bandung tidak perlu merengek-rengek ke Bappenas untuk memperoleh alokasi dana pengelolaan sampah!