Kita dan Tempat Pembuangan Sampah
Diambil tanpa ijin dari PR.
SAMPAH adalah persoalan kita bersama.Tak ada siapa pun yang hidup tanpa menghasilkan sampah. Dengan membayar retribusi, maka soal pengangkutan sampah kita percayakan, kepada pemerintah. Kita percaya, bahwa pemerintah akan mengangkut, membuang, dan mengelola sampah-sampah tersebut secara paripurna, tanpa menimbulkan kerugian.
Sampah, adalah persoalan kepercayaan. Setelah TPA Leuwigajah longsor pascapenggunaan selama berpuluh tahun, mata masyarakat pun terbelalak. Rupanya, ini buah kepercayaan kita kepada pemerintah.Sampah kita telah memakan korban jiwa dan merenggut kepercayaan warga kepada pengayomnya.
Sampah, adalah persoalan keseriusan. Sebanyak 2,6 juta warga Kota Bandung, bukan sedikit membagi kubikan sampah yang dihasilkannya. Setelah Leuwigajah, kita gunakan lagi Pasirimpun selama beberapa pekan, lalu kembali ke Jelekong. Kini, Jelekong hampir tamat riwayatnya.
Sampah, juga persoalan jangka panjang. Habisnya masa pakai Jelekong pada akhir tahun ini, sudah dibahas sejak awal. Masyarakat terus mencoba mengingatkan pemerintahnya agar segera memperoleh lahan baru pasca-Jelekong. Tapi, semua tak pernah memuaskan.
Sebagai persoalan serius dan berdampak jangka panjang, tempat pembuangan akhir sampah baru harus segera ditemukan. Oke kalau memang Jelekong bisa diperpanjang, tapi untuk berapa lama? Bagi berapa kubik sampah? Selama kurun waktu perpanjangan itu, mampukah kita dapatkan lahan baru? Atau, bahkan sistem pengolahan baru?
Kita tidak menutup mata bahwa pemerintah tengah menjajaki lahan Citatah, Cikalongwetan, dan beberapa lokasi lainnya sebagai pengganti Jelekong. Kita juga tidak memungkiri, PD Kebersihan telah membuat MoU dengan konsorsium dari negeri seberang soal pengolahan sampah. Tetapi, sampah adalah sampah. Sampah dihasilkan setiap hari, dengan jumlah yang sulit untuk berkurang. Artinya, segenap pencarian lahan dan seabrek penandatanganan perjanjian, berpacu dengan waktu. Berpacu dengan sampah yang terus dan terus dan terus dihasilkan.
Kita masih punya waktu dua bulan bagi Jelekong. Jika Tuhan, Pemkab, dan warga mengizinkan, mungkin kita bakal punya tambahan napas untuk beberapa bulan ke depan. Katakanlah, secara keseluruhan kita punya waktu enam bulan bagi Jelekong.
Namun, di atas kertas pun rasanya sulit untuk berhitung bahwa waktu 6 x 30 hari bakal cukup untuk membuka lahan baru, apalagi menerapkan sistem teknologi pengolahan sampah. Lha wong untuk amdal, kajian geologi, hidrogeologi, transportasi, dan sosial ekonomi saja minimal bakal makan waktu segitu. Atau, pemkot bakal melewati semua prosedur formal tersebut demi berpacu dengan waktu? Kita harap tidak.
Yang jelas, pada jeda waktu antara habisnya masa pakai Jelekong dan digunakannya TPA baru, bakal terjadi gunungan sampah. Namun, sampah adalah persoalan kita bersama, meski perlu terus mendesak pemerintah agar segera memproses perizinan dan pengkajian lahan baru, di mana pun itu. Kita tidak mau lagi ada korban jiwa akibat gunungan sampah TPA. Karena, kita masih ingin mempercayai pemerintah dan terus berharap pemerintah dapat memegang amanahnya. (Uwie/PR)***
No comments:
Post a Comment